BAB I
PENDAHULUAN
A. Tujuan
Pembahasan
Tujuan
adalah hasil akhir yang ingin dicapai dalam setiap aktifitas atau tindakan.
Tujuan di tulisnya makalah ini adalah untuk mendapatkan gambaran secara umum
dan jelas tentang Agama Konghuchu bila dibandingkan dengan agama kita yakni
agama Islam. untuk lebih jelasnya maka dapat dirinci dalam tujuan penulisan
makalah ini, yaitu sebagai berikut:
1. Untuk
memahami secara jelas asal-usul, pembawa atau pendiri, sisem ketuhanan agama
Konghuchu, kitab-kitab sucinya, madzhab-madzhabnya, dan doktrin-doktrin yang
dikembangkan agama Konghuchu.
2. Untuk
mengetahui praktek keagamaanya yang terdiri dari ritual keagamaannya Agama
Konghuchu, upacara-upacara keagamaannya, tempat-tempat suci dan bandingannya
dengan Agama Islam.
B.
Alasan
Pembahasan
Bangsa
Indonesia terdiri dari berbagai macam etnik dan salah satunya dari Tionghoa,
etnik terbesar yang berasal dari luar. Nenek moyang mereka dahulu datang dari
daratan Cina secara bergelombang kewilayah nusantara dengan motivasi utama
ekspansi perdagangan dan mencari kebutuhan ekonomi secara umum. Kapan persis
kedatangan imigran ini secara pasti belum diketahui. Kendati demikian, merujuk
pada peninggalan arkeologis ditengarai bahwa imigran itu terjadi pada dekade
sebelum masehi.
Migrasi
mereka dalam jumlah sangat signifikan terjadi pada masa pemerintahan kolonial
Belanda. Dengan latar belakang politik dan ekonomi, mereka sengaja didatangkan
oleh Belanda untuk menopang misi penjajahan. Oleh karena itu sangat wajar jika
mereka diberi keleluasaan untuk membentuk komunitas Tionghoa tersendiri dan
mendudukkan status hukumnya lebih tinggi daripada orang-orang pribumi. Akibat
dari kebijaksanaan pemerintah kolonial ini berdampak luas dan berlangsung
hingga saat ini, misalnya komunitas pecinan.
Dalam
pembahasan ini, kami akan menerangkan secara detail tentang kehidupan
keagamaan, dimulai dari asal-usul agama konghucu dalam komunitas Tionghoa,
sistem Ketuhanannya hingga sampai doktrin yang dibawa oleh agama konghucu.
Meskipun
dikatakan oleh sejumlah pakar bahwa etnik tionghoa telah membaur dengan etnik
lain di Indonesia, pandangan keagamaan mereka tidak mengalami erosi dan tetap
melekat dalam budaya etniknya. Salah satunya adalah pemujaan dan penghormatan
kepada roh leluhur yang bersumber dari ajaran Konfusianisme, Taoisme dan
Budhisme.
Untuk
memahami lebih lanjut persoalan tersebut kiranya perlu dipertanyakan apakah
memang bahwa konghucu diakui sebagai agama dinegara asalnya, oleh karena itu
kami akan membahasnya pada bab selanjutnya.
BAB
II
TINJAUAN
UMUM AGAMA KONGHUCU
A. Asal
usul Agama Konghucu
Sejarah
perjalanan dan perkembangan agama Khong hu cu (Kong jiao) sangatlah panjang. Agama Khong hu cu adalah agama yang ada dengan mengambil
nama Sang Nabi Khongcu (Kongzi/Kong Fuzi) yang lahir pada tanggal 27
bulan 8 tahun 551 SM di negeri Lu (kini jasirah Shandong).
Awalnya agama ini bernama Ru jiao (儒 教).
Huruf Ru (儒) berasal dari
kata (亻-人) ‘ren’ (orang) dan (需) ‘xu’ (perlu) sehingga berarti
‘yang diperlukan orang’, sedangkan ‘Ru’ sendiri bermakna (柔) ‘Rou’ lembut budi-pekerti, penuh
susila, (优) ‘Yu’ – Yang
utama, mengutama perbuatan baik, lebih baik,..和
He – Harmonis, Selaras, 濡
Ru – Menyiram dengan kebajikan, bersuci diri,‘Jiao 教 berasal dari kata ‘xiao’孝 (berbakti) dan 文 ‘wen’ (sastra, ajaran). Jadi
‘jiao’ berarti ajaran/sastra untuk berbakti; kepada agama.
Maka
Ru jiao adalah ajaran/agama, untuk berbakti bagi kaum
lembut budi pekerti yang mengutamakan perbuatan baik, selaras dan berkebajikan.
Ru jiao ada jauh sebelum Sang Nabi Kongzi lahir. (2952 – 2836 SM), Dimulailah
dengan sejarah Nabi-Nabi suci Fuxi Shen-nong (2838 – 2698 SM), Huang-di (2698 –
2596 SM), Yao (2357 – 2255 SM), Shun (2255 – 2205 SM), Da-yu (2205 – 2197 SM),
Shang-tang (1766 – 1122 SM),Wen, Wu Zhou-gong (1122 – 255 SM), sampai Nabi
Agung Kongzi (551 – 479 SM) dan Mengzi (371 – 289 SM). Para nabi inilah peletak
Ru jiao. Sedangkan Nabi Kongzi adalah penerus, pembaharu dan penyempurna. Maka
Ru jiao juga disebut Kong jiao.[1]
Dalam
perkembangannya di Indonesia berawal dari Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (disingkat MATAKIN) adalah sebuah organisasi yang mengatur perkembangan agama Khonghucu di Indonesia. Organisasi ini didirikan pada
tahun 1955. Keberadaan umat beragama Khonghucu beserta lembaga-lembaga
keagamaannya di Nusantara atau Indonesia ini sudah ada sejak berabad-abad yang
lalu, bersamaan dengan kedatangan perantau atau pedagang-pedagang Tionghoa ke tanah air kita ini. Mengingat
sejak zaman Sam
Kok
yang berlangsung sekitar abad ke-3 Masehi, Agama Khonghucu telah menjadi salah
satu di antara Tiga Agama Besar di China waktu itu; lebih-lebih sejak zaman dinasti Han, atau tepatnya tahun 136 sebelum
Masehi telah dijadikan Agama Negara.
Kehadiran Agama Khonghucu di
Indonesia telah berlangsung berabad-abad lamanya, Kelenteng Ban Hing Kiong di Manado didirikan pada tahun 1819 . Di Surabaya didirikan tempat ibadah Agama
Khonghucu yang disebut mula-mula : Boen Tjhiang Soe (pada Tahun 1883),
kemudian dipugar kembali dan disebut sebagai Boen
Bio
pada tahun 1906. Sampai dengan sekarang Boen Bio yang terletak di Jalan Kapasan
131, Surabaya masih terpelihara dengan baik dibawah asuhan Majelis Agama
Khonghucu (MAKIN) “Boen Bio” Surabaya.[2]
Di Sala didirikan Khong
Kauw Hwee
sebagai Lembaga Agama Khonghucu pada tahun 1918. Pada tahun 1923 telah diadakan
Kongres pertama Khong
Kauw Tjong Hwee (Lembaga Pusat Agama Khonghucu) di Yogyakarta dengan kesepakatan memilih kota Bandung sebagai Pusat. Pada tanggal 25 September 1924 di Bandung diadakan Kongres ke dua
yang antara lain membahas tentang Tata Agama Khonghucu supaya seragam di
seluruh kepulauan Nusantara.
1883 Boen Tjhiang Soe (Wen Chang Ci 文昌祠),
dan kemudian menjadi Boen
Bio
(Wen Miao 文廟) Jl.Kapasan No. 131 Surabaya. Oleh
pihak Belanda disebut “Gredja Boen Bio atau Geredja Khonghoetjoe (de kerk van
Confucius). Dewasa ini sebagai tempat ibadah umat Agama Khonghucu Indonesia.
Dibina oleh MAKIN (Majelis Agama Khonghucu Indonesia Surabaya).
2. 1900 – terjemahan Kitab Thay Hak (Da Xue, Ajaran Besar) dan Tiong Yong (Zhong Yong, Tengah Sempurna) disusun oleh Tan
Ging Tiong.
4. 17 Maret 1900 – 20 pemimpin Tionghoa
mendirikan lembaga sosial kemasyarakatan Khonghucu yang disebut Tiong
Hoa Hwee Kwan (Zhonghua Huiguan 中華會館) yang bermaksud memurnikan Agama
dan menghapuskan sinkretisme.[3]
Berdirinya lembaga-lembaga agama
Khonghucu di Indonesia dimulai dari masa kemasa sebagai berikut:
1. 1918 diresmikan Khong Kauw Hwee
(Kong Jiao Hui 孔教會) di kota Surakarta, menyusul pula kota-kota lainnya.
2. Tahun 1920an Kong
Jiao Hui 孔教會 Surabaya menerbitkan majalah Djiep
Tek Tjie Boen (Ru De Zhi Men 入德之門).
3. 1923 mulai dilakukan musyawarah
untuk membentuk badan pusat yang dinamakan Khong Kauw Tjong Hwee (Kong Jiao
Zong Hui 孔教總會) di Yogyakarta. Bandung dipilih sebagai kedudukan
pusat organisasi dan Poei
Kok Gwan
terpilih sebagai ketua umum. Keputusan ini didukung oleh Khong Kauw Hwee dari
kota Surabaya, Sumenep, Kediri, Surakarta, Semarang, Blora, Purbolinggo, Cicalengka, Wonogiri, Yogyakarta, Kartasura, dan Pekalongan. Pada tahun itu pula, diterbitkan
majalah Khong Kauw
Gwat Poo
atau Kong Jiao Yue Bao 孔教月報.
4. 25 September 1924 diadakan Kongres
di Bandung yang tujuan utamanya membahas lebih lanjut penyeragaman tata ibadah
di seluruh tanah air.
5. 25 Desember 1938 diadakan konferensi
di Surakarta dan kedudukan pusat dialihkan ke kota Surakarta, dengan ketua umum
Tio
Tjien Ik,
sekretaris Auw
Ing Kiong
dan diterbitkan majalah bulanan Bok Tok Gwat Po (Mu Duo Yue Bao).
7. 24 April 1940 diadakan konferensi Kong Jiao Zong Hui 孔教總會 di Surabaya yang hasil antara lain : Konferensi tahun
1941 diselenggarakan di Cirebon. Semua sekolah Khong Kauw Hwee
diberi pelajaran agama Khonghucu. Upacara pernikahan dan kematian supaya
diselidiki dan disesuaikan dengan keadaan zaman, tapi tetap berpatokan pada
nilai-nilai Ru Jiao.
8. Pada tahun 1942, karena imbas perang dunia II dan masuknya bala tentara Jepang ke
Indonesia, Khong Kauw Tjong Hwee yang dianggap anti-Jepang dibekukan.
9. Masa Penjajahan Jepang (1942-1945). Pada masa itu, Litang
(tempat ibadah umat Khonghucu) banyak menampung pengungsi tanpa memandang ras. Hal ini sesuai dengan prinsip “Di Empat Penjuru Samudera
Semua Umat Bersaudara” (四海之內,皆兄弟也 - Si Hai Zhi Nei, Jie Xiong Di Ye).
Lun Yu 12:5.
10. Masa Kemerdekaan - Pada awal-awal kemerdekaan NKRI,
kegiatan Khong Kauw Hwee lebih banyak bersifat lokal. Pada bulan Desember 1954,
di Solo, diselenggarakan konferensi
tokoh-tokoh agama Khonghucu untuk persiapan membangun kembali Khong Kauw Tjong
Hwee.
11. Pada tgl 16 April 1955 dibentuk
PKCHI (Perserikatan Khong Chiao Hwee Indonesia / Perserikatan Kong Jiao Hui
Indonesia) sebagai penjelmaan kembali Khong Kauw Tjong Hwee dengan kedudukan
pusat di Solo dengan Ketua umum: Dr. Kwik
Tjie Tiok.
Sekretaris: Oei
Kok Dhan.[4]
Pada tanggal 11-12 Desember 1954 di Sala diadakan konferensi
antar tokoh-tokoh Agama Khonghucu untuk membahas kemungkinan ditegakkan kembali
Lembaga Agama Khonghucu secara Nasional setelah tidak ada kegiatan semenjak
pecahnya perang dunia II dan masuknya Jepang ke
Indonesia. Akhirnya pada konferensi yang diselenggarakan di Sala pada tanggal
16 April 1955 disepakati dibentuk kembali Lembaga Tertinggi Agama Khonghucu
Indonesia dengan memakai nama Perserikatan K’ung Chiao Hui Indonesia yang
diketuai Dr. Sardjono. Tanggal 16
April 1955 disepakati sebagai hari jadi Majelis Tinggi Agama Khonghucu
Indonesia, disingkat MATAKIN.
Sejak berdirinya secara periodik diadakan Kongres/MUNAS. Pada awal
pemerintahan Orde Baru,
tepatnya tanggal 23-27 Agustus 1967 telah diadakan Kongres ke-VI di mana
Soeharto yang pada waktu itu sebagai Pejabat Presiden Republik Indonesia
berkenan memberikan sambutan tertulis yang antara lain mengatakan bahwa,
"Agama Konghutju mendapat tempat yang layak dalam negara kita jang
berlandaskan Pantjasila ini”.
Dengan dikeluarkannya Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 477/74054/
BA.01.2/ 4683/95 tanggal 18 November 1978 antara lain menyatakan bahwa agama
yang diakui oleh pemerintah yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha mulailah keberadaan umat Khonghucu
dipinggirkan. Keputusan politik ini yang sesungguhnya batal demi hukum, karena
sangat bertentangan dengan Hak Asasi
Manusia, disamping itu bertentangan dengan UUD pasal 29 ayat 2 yang
memberikan kebebasan beragama dan beribadat, justru dijadikan pegangan oleh
aparat pemerintah sampai sekarang ini kendatipun telah dicabut per tanggal 31
Maret 2000. Surat edaran ini juga mengingkari realita bahwa warga negara
Indonesia yang memeluk Agama Khonghucu ada di Indonesia. Karena berdasarkan
sensus penduduk yang diadakan lembaga resmi pemerintah yaitu Biro Pusat Statistik Indonesia pada tahun
1976 penduduk Indonesia yang beragama Khonghucu mencapai 0,7% yang berarti
lebih dari 1 juta jiwa.
Konggres pertama diselenggarakan 6-7 Juli 1956 di Solo. Dalam Konggres
ini disempurnakan AD dan ART PKCHI. Kedudukan pusat tetap di Solo dengan ketua
Dr. Kwik Tjie Tiok dan Sekretaris Tjan Bian Lie. Konggres kedua diselenggarakan
di Bandung, tgl 6-9 Juli 1957. Kedudukan pusat tetap dipilih kota Solo dengan
ketua Dr. Kwik Tjie Tiok dan Tjan Bian Lie sebagai sekretaris. Konggres ketiga
diselenggarakan di Boen Bio Surabaya tgl 5-7 Juli 1959 dengan ketua umum Tan
Hok Liang dan sekretaris Tan Liong Kie untuk periode 1959-1961 dengan kedudukan
pusat di Bogor Di dalam konggres ke empat di Solo 14-16 Juli 1961 diputuskan:
1.
Mengintensifkan penyeragaman tata
ibadah.
2.
Mengubah nama PKCHI menjadi LASKI
(Lembaga Agama Sang Khongcu Indonesia
3.
Mengutus Thio Tjoan Tek, salah
seorang ketua LASKI, bersama dengan Prof. Dr. Mustopo dari Bandung, memohon
agar agama Khonghucu dikukuhkan dalam bimbingan kehidupan masyarakatnya oleh
Kementerian Agama RI.
4.
Solo kembali dipilih sebagai pusat
organisasi, Tjan Bian Lie sebagai ketua umum dan The Ping Hap sebagai
sekretaris.[5]
Pada konferensi 22-23 Desember 1963 di Solo nama LASKI diubah menjadi
GAPAKSI (Gabungan Perkumpulan Agama Khonghucu Se Indonesia). Pada Konggres ke V
di Tasikmalaya 5-6 Desember 1964, singkatan GAPAKSI diubah menjadi Gabungan
Perhimpunan Agama Khonghucu Se Indonesia. Pada Konggres ke VI GAPAKSI di Solo
23-27 Agustus 1967, nama GAPAKSI diubah menjadi MATAKIN (Majelis Tinggi Agama
Khonghucu Indonesia). Terpilih sebagai pengurus: Ketua Umum: Tan Sing
Hoo. Wakil Ketua Umum: Suryo Hutomo. Sekretaris: Ws. Oei Tjien San. Di dalam
konggres ini Pejabat Presiden RI Soeharto dan Ketua MPRS A.H. Nasution,
memberikan sambutan tertulis. Dirjen Bimasa agama Hindu dan Buddha Departemen
Agama RI, I.B.P. Mastra yang saat itu sudah memberi tempat bagi umat agama
Khonghucu di Departemennya, ikut memberikan sambutan atas nama Menteri Agama.
Konggres ke VII diselenggarakan di Pekalongan tgl 24-28 Desember 1969.
Kedudukan pusat tetap di Solo. Kepengurusan periode 1969-1971 adalah; Ketua
Umum: - Suryo Hutomo. Sekretaris: Tjiong Giok Hwa. Pada Konggres ini IBP
Mastra, Dirjen Bimasa Agama Hindu dan Buddha, memberi sambutan mewakili Menteri
Agama KH. Mochammad Dahlan. Juga ikut memberikan sambutan tertulis Ketua
MPRS A.H. Nasution. Tanggal 25-27 Desember 1970 diadakan Musyawarah Kerja
(Muker) Makin-Makin se Jawa Barat dan DKI Jaya untuk meningkatkan perkembangan
Agama Khonghucu. Tanggal 3 Juli 1971 diadakan Musyawarah Kerja Seluruh Indonesia
(MUKERSIN I), yang dihadiri utusan-utusan dari 41 daerah dengan tujuan
mensukseskan Pelita dan Pemilihan Umum. Tanggal 23-27 Desember 1971
diselenggarakan Konggres ke VIII Matakin di Semarang. Hasilnya kedudukan pusat
tetap di Solo dan terpilih: Ketua umum: Suryo Hutomo dan Sekretaris: Ibu Tjiong
Giok Hwa. Tanggal 19-22 Desember 1975 di Tangerang diselenggarakan MUNAS III
Dewan Rokhaniwan Agama Khonghucu Indonesia yang dihadiri oleh Rokhaniwan dari
25 daerah. Keputusan-keputusan penting di dalam munas ini: Disahkan
penyempurnaan hukum perkawinan dan pelaksanaan upacara.
B. Pendiri/Pembawa
Agama Konghucu
Agama Konghucu dipadankan dengan sejumlah sebutan: Kong Jiau/Kung
Chiao,Rujiao/Chiao, dan Ji Kau. Semua sebutan tersebut merujuk pada sejarah
bahwa Konghucu merupakan suatu “Agama” klasik Cina yang dibangkitkan kembali
oleh Kongcu, yang dalam bahasa asalnya berarti agama kaum taat, yang lembut hati, yang memperoleh bimbingan,
atau kaum terpelajar. Oleh sejumlah Orientasi Khonghucu disebut juga Confucianism,
karena Khongcu adalah tokoh sentral yang membawa ajaran tersebut.[6]
Menurut para penganutnya, Khonghucu bukan sekedar suatu ajaran yang
diciptakan oleh Nabi Khongcu melainkan agama (chiao) yang telah
diturunkan oleh Thian ( Tuhan Yang Maha Esa), lewat para Nabi dan Raja
Suci purba ribuan tahun sebelum lahir Nabi Kongcu.
Fung Yu Lan (A History of Chinese Philosiphy)
menegaskan bahwa Khongcu (Confucius) adalah seorang “transmitter”. Dalam
kitab Susi VII. 1.2 telah dijelaskan bahwa Khongcu hanya meneruskan, tidak
menciptakan, ia sangat menaruh percaya dan suka kepada yang kuno itu. Khongcu
telah dipilih oleh Thian untuk melestarikan, membangkitkan kembali,
meneruskan dan menyempurnakan agama-Nya (Susi, III. 24 dan Susi IX.5).[7]
C. Sistem
Ketuhanan Agama Konghucu
Ajaran-ajaran
dalam kitab Su Si tidak begitu banyak
memuat hal-hal yang berkaitan dengan konsep metafisika. Ajaran metafisika
justru banyak bersumber pada kitab klasik, kitab yang sudah ada sebelum Khongcu
lahir. Yang dimaksud dengan ajaran metafisika di sini ialah ajaran yang
mencakup konsep tentang Tuhan, manusia, alam semesta dan konsep tantang hidup
sesudah mati.[8]
Tuhan
dalam ajaran Konghucu sering disebut Thian
atau Tee, yang artinya Tuhan Yang
Maha Besar atau Tuhan Yang Maha Menguasai Langit dan Bumi. Di dalam kitab Ngo
King biasa diberi kata sifat sebagai berikut:
1. Siang Thian
- artinya Thian Yang Maha Tinggi
2. Hoo Thian
- artinya Thian Yang Maha Besar
3. Chong Thian
- artinya Thian Yang Maha Suci
4. Bien Thian
- artinya Thian Yang Maha Pengasih
5. Hong Thian
- artinya Thian Yang Maha Kuasa, Maha Pencipta
Kongcu
sendiri percaya adanya Thian yang
selalu harus dihormati dan dipuja karena Dialah yang menjaga alam semesta. Oleh
karena itu, manusia harus melakukan upacara-upacara keagamaan sederhana dan
sekhidmat mungkin agara mendapatkan berkah dari Thian. Dalama kaitan ini, umat manusia harus mencermati dan
meneladani tingkah laku orang tua, karena menurut ajaran Konghucu orang tua
adalah wakil Thian.[10]
Dengan
adanya kepercayaan kepada Thian yang
oleh pemeluknya diterjemahkan sebagai Tuhan Yang Maha Esa, Konghucu dapat
dikelompokkan ke dalam kepercayaan monotheis. Kepercayaan ini bersifat
dogmatik, yang diyakini umatnya berdasarkan wahyu (agama langit).[11]
Selain
kepercayaan terhadap Thian dalam
ajaran Konghucu terdapat juga kepercayaan terhadap para malaikat (dewa-dewa),
roh-roh suci dan para nabi. Para penganutnya perlu melakukan penghormatan,
sesajian dan peribadatan mereka.[12]
Soal
Ketuhanan, soal hari kiamat dan akhirat, soal hidup sesudah mati tidak pernah
disinggung-singgung. Yang dimuliakan dan dipuja oleh mereka adalah alam
(termasuk roh-roh, dewa-dewa, gunung, sungai-sungai, angin), leluhur (termasuk
kebaktian teman), dan langit (ahli-ahli sejarah agama menganggap bahwa dewa
langit adalah yang tertua).[13]
Kong
Hu Cu atau Konfusius, seorang ahli filsafat Cina yang terkenal sebagai orang
pertama pengembang sistem memadukan alam pikiran dan kepercayaan orang Cina
yang mendasar, dalam mengajarkan ajaran-ajarannya, ia tidak suka mengakaitkan
paham dengan paham ketuhanan. Ia menolak membicatakan tentang akhirat dan
soal-soal yang bersifat metafisika, ia hanya seorang filosof sekuler yang
mempersoalkan moral kekuasaan dan akhlak pribadi manusia yang baik. Namun
dikarenakan ajaran-ajaran lebih banyak mengarah pada kesusilaan dan mendekati
ajaran keagamaan maka ia sering digolongkan dan dianggap sebagai pembawa agama.[14]
Dapat
dikatakan, Kong Hu Cu selalu menghindari pembicaraan tentang metafisika,
ketuhanan, jiwa, dan berbagai hal yang ajaib. Namun ia tidak meragukan tentang
adanya Tuhan Yang Maha Esa yang dianut masyarakatnya. Bahkan ia lebih
meneguhkan pemujaan terhadap leluhur, dengan kesetiaan kepada sanak keluarga
dan penghormatan terhadap orang tua. Ia mengajarkan betapa penting artinya
penghormatan dan ketaatan istri terhadap suami, rakyat terhadap penguasanya.
Menurut Kong Hu Cu hidup ini ada dua nilai, yaitu Yen dan Li. Yen artinya
cinta atau keramahtamahan dalam hubungan dengan seseorang, sedangkan Li artinya keserangkaian antara
perilaku, ibadah, adat istiadat, tata krama dan sopan santun.[15]
Kong
Hu Cu mengatakan bahwa ada tiga hal yang menjadi tempat orang besar, yaitu
kagum terhadap perintah Tuhan, kagum terhadap orang-orang penting, dan kagum
terhadap kata-kata orang bijaksana. Orang yang tidak kagum terhadap tiga hal
tersebut atau malah tidak berperilaku sopan dan menghina kata-kata bijaksana
adalah orang-orang yang picik.[16]
Demikian,
Ru Jiao atau agama Konghucu adalah agama monoteis, percaya hanya pada satu
Tuhan, yang biasa disebut sebagai Tian, Tuhan Yang Maha Esa atau Shangdi (Tuhan
Yang Maha Kuasa). Tuhan dalam konsep Konghucu tidak dapat diperkirakan dan
ditetapkan, namun tiada satu wujud pun yang tanpa Dia. Dilihat tiada nampak,
didengar tidak terdengar, namun dapat dirasakan oleh orang beriman.[17]
Dalam
Yijing dijelaskan bahwa Tuhan itu Maha Sempurna dan Maha Pencipta (Yuan) ; Maha
Menjalin, Maha Menembusi dan Maha Luhur (Heng) ; Maha Pemurah, Maha Pemberi
Rahmat dan Maha Adil (Li), dan Maha Abadi Hukumnya (Zhen).[18]
D. Kitab
agama konghucu
Kitab suci agama konghucu sampai pada
bentuknya yang sekarang mempunyai masa perkembangan yang sangat panjang. Kitab
suci yang tertua berasal dari raja suci Giau (2357-2255 SM) dan yang termuda
ditulis oleh Bingcu (wafat tahun 289 SM), meliputi masa sekitar 2000 tahun.
Kitab suci yang berasal dari para Nabi Purba sesuai dengan wahyu yang diterima
langsung Nabi kongcu dari Tuhan Ynag Maha Esa disempurnakan dan dihimpun, kini
disebut Ngo King (Kitab suci yang kelima) sebagai kitab suci yang pokok.
Ajaran-ajran Nabi Kongcu dibukukukan oleh para muridnya dan dipertegas oleh
Bingcu yang terhimpun dalam kitab Su Si (Kitab keempat)[19].
Dilihat dari ajarannya, Konghucu
merupakan kumpulan ajaran yang bersumber dari ajaran klasik sebelum Kongcu
lahir. Menurut penganutnya, Konghucu merupakan ajaran yang telah diturunkan
oleh Thian (Tuhan Yang Maha Esa) lewat para Nabi dan Raja Suci Purba, ribuan
tahun sebelum Kongcu lahir. Sejak Raja Suci Tong Giau (2357 SM - 2255 SM) dan
Gi Sun (2255 SM - 2205 SM) telah diletakkan dasar-dasar agama Konghucu, dengan
didampingi oleh Nabi Koo Yau dan Nabi Ik yang sekarang tersusun dan dapat
dibaca dalam Su King (Kitab Dokumentasi Sejarah Suci). Di samping Su King
(Ajaran Klasik) terdapat juga kitab Si King (Sajak), Ya King (Kejadian), Lee
King (Kesusilaan dan Peribadatan), dan Chun Chiu King (Sejarah Zaman Chin
Chiu). Kelima kitab ini merupakan kitab suci (Ngo King) klasik yang sudah ada
di abad sebelum Kongcu lahir. Kongcu lebih berperan sebagai penghimpun,
penyusun, dan penerus ajaran Raja Suci dan Nabi Purba. Is bukan pencipta ajaran
klasik Ji Kau, sebagaimana dinyatakan dalam kitab Sabda Suci VII, 1. 2:
“Aku
hanya meneruskan, tidak mencipta. Aku sangat menaruh percaya dan suka kepada
yang kuno itu.”[20]
Dengan demikian apa yang sekarang
disebut ajaran Konghucu atau agama Konghucu (Ji Kau = Ru Chiao) bukanlah ajaran
yang ada dan lahir pada zaman Kongcu hidup, tetapi sudah ada 2068 tahun
sebelumnya. Kongcu berperan menghidupkan kembali ajaran klasik. Kitab Ngo King
sendiri diteliti dan dikodifikasikan pada abad ke-2 SM (2 abad setelah Kongcu
wafat), yakni pada zaman Dinasti Han oleh seorang toloh bernama Tang Tiong Su.
Kemudian pada tahun 79 M diperiksa ulang untuk menyamakan penafsiran Ngo King
oleh musyawarah besar tokoh-tokoh Konghucu yang hasilnya dibukukan dalam sebuah
kitab Pik Hau Thong.[21]
Komponen kedua, tetapi merupakan pokok
dari ajaran Konghucu, ialah semua ajaran yang termaktub dalam kitab Su si atau
Kitab Yang Empat , yakni Thai Hak (Kitab Ajaran Besar), Tiong Yong (Kitab
Tengah Sempurna), Lun Gi (Kitab Sabda Suci), dan kitab Mencius (Kitab Bingcu).
Sebenarnya yang murni berisi ajaran Kongcu adalah 3 kitab, sedang kitab Mencius
merupakan ajaran dari Bingcu yang hidup satu abad setelah Kongcu wafat. Isinya
merupakan percakapan-percakapan Bingcu dengan raja-raja, tokoh-tokoh aliran,
dan tokoh pemikir yang ada pada waktu itu. Meskipun Bingcu berpisah dengan
Kongcu oleh waktu yang lama, tetapi Bingcu diakui sebagai (wakil) Nabi yang
telah berjasa menegakkan dan meluruskan kembali kemurnian ajaran Konghucu. Oleh
karena itu, ajarannya dimasukkan dalam bagian kitab suci. Beberapa yang
mengatur susunan kitab Su Si ialah kitab kaum Too Hak Ke atau tokoh Neo
Konfusianisme, yakni Cu Hi pada abad ke-12 M.[22]
Di samping kitab Ngo King (Kitab Lima)
dan Kitab Su Si (Kitab Empat) masih ada kitab lain yang dianggap sebagai kitab
suci Konghucu, dan berisi tuntunan perilaku bakti dalam berbagai aspek
kehidupan. Kitab itu disebut Hau King (Kitab Bhakti) yang ditulis oleh Cingcu
(murid Kongcu). Dengan demikian ajaran Konghucu tidak saja dipengaruhi oleh
(atau berdasarkan pada) ajaran klasik dan Kongcu, tetapi juga dipengaruhi oleh
(atau dipersatukan dengan) ajaran murid-muridnya (seperti Cingcu) dan tokoh
dari pengikutnya (seperti Bingcu).[23]
Secara substansial kitab-kitab suci
tersebut merupakan sumber dari ajaran Konghucu yang oleh pengikutnya dijadikan
pedoman dan acuan dalam pemikiran, tingkah laku, dan kepercayaan. Kitab suci
dianggap sebagai wahyu dari Thian (Tuhan) yang diturunkan kepada mereka yang
dianggap sebagai nabi. Kumpulan wahyu tersebut oleh para tokoh agamanya telah
diteliti dan dibukukan menjadi kitab suci.[24]
Apabila dikelompokkan, esensi
kitab-kitab suci tersebut di atas meliputi metafisika, etika, dan upacara
peribadatan. Dari penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa pada agama Konghucu
Kitab sucinya ada 2 kelompok, yakni:
1.
Ngo king (kitab Suci yang Lima),
yang merupakan kitab klasik yang sudah ada di abad sebelum Kongcu lahir yang
terdiri atas:
a) Su
King (Kitab Dokumentasi Sejarah Suci)
b) Su
King (Ajaran Klasik) terdapat juga kitab Si King (Sajak)
c) Ya
King (Kejadian)
d) Lee
King (Kesusilaan dan Peribadatan
e) Chun
Chiu King (Sejarah Zaman Chin Chiu).
2. Su
si (Kitab Yang Empat), yakni:
a) Thai
Hak (Kitab Ajaran Besar)
b) Tiong
Yong (Kitab Tengah Sempurna)
c) Lun
Gi (Kitab Sabda Suci)
d) Kitab
Mencius (Kitab Bingcu)
Selain itu masih ada satu kitab lagi: Hau
King (Kitab Bhakti).
E. Madzhab/Sekte-sekte
Dalam Agama Konghucu
Berlawanan
dengan sekte Li (Li Sie Phai), adalah sekte Hsin (Hsin Sie Phai) yang juga
tergolong dalam Neo-Confucianisme. Pemrakarsa utama dari sekte Hsin adalah Wang
Yang-ming (1473-1529 M), atau dikenal juga sebagai Wang Shou-jen, kelahiran
Yu-yao, Propinsi Chekiang, putra dari seorang pejabat tinggi negara. Wang
Yang-ming hidup pada periode dinasti Ming (1388-1644 M). Beliau menekankan
konsep kesatuan dalam pengetahuan dan praktek. Wang Yang-ming membina karirnya
dipemerintahan dalam bidang militer, dimana beliau terkenal sebagai seorang
jenderal yang penuh strategi dalam menumpas pemberontakan. Berbagai jabatan
kementerian pernah dipegangnya termasuk jabatan gubernur, dan selama
kepemimpinannya, daerah Kiangsi dimana beliau berada terkenal aman dan damai.
Pemikiran Wang yang paling utama adalah bahwa terlepas dari pikiran, maka tidak
ada hukum alam ataupun benda yang eksis. Menurut beliau, pikiran merupakan
pembentuk hukum alam, dan tidak ada yang eksis tanpa pikiran. Seseorang harus
mengembangkan pengetahuan intuisi dari pikiran (Liang Ce/Intuitive Knowledge),
bukan melalui belajar atau menyelidiki hukum alam, tetapi dengan pikiran yang
terkendali dan meditasi yang mendalam (samadhi). Filsafat Wang yang terpengaruh
juga oleh praktek Taois yang dipelajarinya, sempat berjaya sekitar 150 tahun di
China, dan sangat mempengaruhi kebudayaan Jepang saat itu.[25]
Konsep
pemikiran Neo-Confucianisme tersebut, kelihatannya terpengaruh juga oleh ajaran
Buddhisme Mahayana yang dikembangkan oleh Mahabhikshu Tripitaka Hsuan-tsang
(602-664 M). Hsuan-tsang, berasal dari keluarga turun temurun Confucianis,
terkenal sebagai seorang bhikshu penjiarah terbesar sepanjang sejarah yang
melakukan perjalanan ke Barat (India) dari Tiongkok, hidup pada masa
pemerintahan dinasti Tang (618-907 M). Kisah terkenalnya kemudian dihikayatkan
dalam bentuk cerita legenda rakyat Tiongkok, Hsi Yu Chi (Perjalanan Ke Barat
untuk mengambil Kitab Suci Buddhisme), dengan tokoh sentralnya antara lain,
bhikshu Hsuan-tsang, Sun Hou-zi (Sun-Go-kong), Chu Pa-chieh, dan Sa Ho-sang.
Sesudah pulang ke Tiongkok pada tahun 645 M (setelah melakukan perjalanan
selama 16 tahun), selain banyak menerjemahkan berbagai kitab Sanskerta ke dalam
bahasa China, beliau juga mendirikan sekte Wei Shih (Hanya Kesadaran/Vijnana),
sebagaimana tertuang dalam karya Hsuan-tsang, Ch'eng Wei Shih Lun (Treatise on
the Establishment of the Doctrine of Consciousness Only), yang menjelaskan
bagaimana bisa terdapat suatu dunia emperikal yang umum untuk setiap individu
yang memiliki fisik dan pencerapan yang berbeda, tetapi memiliki pembentuk
pikiran bersama terhadap suatu tujuan tertentu.
Karya
Hsuan-tsang tersebut banyak dipengaruhi oleh filsafat ajaran Yogacara
(Vijnanavada/Wei Shih Cung) yang dikembangkan oleh Asanga dan Vasabhandu.
Menurut Hsuan-tsang, benih karma universal yang tersimpan dalam Gudang
Kesadaran (alayavijnana) merupakan pembentuk sifat umum, dan benih karma
tertentu sebagai pembentuk sifat pembeda masing-masing individu. Pokok utama
ajaran ini menyatakan, bahwa seluruh dunia ini terbentuk karena pikiran.
Bentuk-bentuk tampak luar adalah tidak nyata (maya), tidak ada yang nyata
diluar pikiran. Pendapat umum tentang adanya bentuk luar hanyalah disebabkan
konsepsi yang salah, dimana dapat dihilangkan dengan proses meditasi yang
menarik kembali semua bentuk luar yang bersifat maya tersebut (semacam
vipassana bhavana). Benih karma merupakan pembentuk Lima Kelompok Kehidupan
(pancaskandha) yang terkumpul dalam Gudang Kesadaran, dimana membentuk pikiran
atas keberadaan dunia luar berdasarkan persepsi dan citta. Gudang Kesadaran
inilah yang harus disucikan dari dualitas subyek-obyek, dan keberadaan yang
maya dengan menempatkannya pada alam kemurnian yang dapat disamakan dengan
kenyataan atau kesamaan dimana menunjukkan sifat dasar dari semua benda sesuai
apa yang telah ditentukan (tathata).[26]
Selama
dinasti Ch'ing (1644-1911), terjadi reaksi yang keras terhadap sekte Li (Li Sie
Phai) dan sekte Hsin (Hsin Sie Phai) dari pemikiran Neo-Confucianis tersebut.
Para cendekiawan dalam periode Ch'ing, menghendaki untuk kembali kepada ajaran
murni Confucianisme sebagaimana berasal dari periode dinasti Han sebelumnya.
Mereka menganggap Neo-Confucianisme dari Chu Hsi terlalu dipengaruhi oleh
konsep ajaran Buddhisme dan Taoisme. Mereka mengembangkan naskah yang bersifat
kritis terhadap Kitab Confucianis berdasarkan metodologi ilmiah, ilmu bahasa,
sejarah, dan arkeologi untuk memperkuat pendapat mereka. Sebagai tambahan, para
cendekiawan seperti Tai Chen atau Tai Tung-yuan (1724-1777 M), mengenalkan
suatu sudut pandang empiris (suatu teori yang mengatakan bahwa semua
pengetahuan berasal dari pengalaman) ke dalam filsafat Confucianisme. Tai Chen
kelahiran Hsiu-ning propinsi Anhwei, terlahir dalam keluarga yang miskin,
dimana untuk belajar saja beliau harus meminjam buku dari orang lain. Tetapi
karena kecendekiawaannya, maka Tai diundang oleh Kaisar saat itu untuk duduk
dalam posisi pemerintahan. Tai sempat menghasilkan kurang lebih 50 karya, yang
pada umumnya terdiri dari matematika, ilmu bahasa, geografi kuno, dan berbagai
buku mengenai Confucianisme. Dalam bidang matematika, Beliau menuliskan teori
logaritma berdasarkan teori dari ahli matematika Inggris, John Napier. Menurut
pendapat Tai Chen, Li terdapat dalam semua makhluk hidup, bahkan keinginan
duniawi yang timbul dalam diri manusia. Pengetahuan Li tidak dapat diperoleh
secara mendadak hanya dalam meditasi, sebagaimana yang dipercayai oleh
Neo-Confucianis. Li hanya dapat diperoleh setelah melalui serangkaian pencarian
yang mendalam, dengan menggunakan metode yang tepat, apakah secara
kesusasteraan, sejarah, atau penelitian ilmu bahasa. Karena penekanan ajaran
Tai terhadap penelitian empirikal yang tekesan ilmiah, dimana selaras dengan
pendekatan ilmu pengetahuan umum dari filsafat Barat, maka pemikirannya mulai
dipelajari pada abad ke-20. Pada tahun 1936, para cendekiawan China memberikan
penghargaan terhadap Tai Chen dengan mempublikasikan karya Beliau secara
lengkap yang merupakan suatu edisi resmi dengan judul, Tai Tung yuan Hsien
Sheng Chuan Chi (Collected Writings of Mr. Tai Chen / Kumpulan Karya Tn. Tai
Chen).[27]
F. Doktrin
yang dikembangkan
Ajaran
agama khonghucu amat mendorong umatnya untuk melaksanakan peribadatan.
Peribadatan sangat penting, bahkan lebih penting daripada kesusilaan.
Peribadatan sangat penting, bahkan lebih penting dari kesusilaan. Peribadatan
yang dilakukan secara khidmat akan memancarkan kesusilaan. Setiap peradaban
yang dilakukan dengan tulus, penuh kepercayaan, penuh satya dan penuh hormat
akan memperoleh keberkahan atau kesempurnaan. Peribadatan dilaksanakan menurut
kesusilaan, dikhidmatkan dengan music dan lagu, serta disesuaikan dengan musim.[28]
Dalam
kitab Si king (sajak) dan kitab Lee King(kesusilaan dan peribadatan) banyak
ajaran peribadatan dan nyanyian yang menyertai berbagai macam upacara
keagamaan. Upacara keagamaan dalam agama khonghucu tidak hanya menyangkut siklus
musim (sebagai negeri agraris) tetapi juga berkaitan dengan penghormatan
terhadap orang yang dianggap suci, roh orang tua dan leluhurnya serta malaikat
(dewa-dewa) yang dianggap mempengaruhi nasib manusia. Dalam kaitan dengan itu,
untuk masing-masing tahap yang kritis dalam siklus kehidupan diadakan upacara
keagamaan, seperti kelahiran, kematian, perkawinan, dan lain sebagainya.
Karena
ajaran agama khonghucu yang amat menekankan pentingnya ritual itulah, wajarlah
jika para penganutnya banyak melakukan ritual keagamaandan menyembah berbagai
macam objek pemujaan, seperti raja suci, nabi-nabi, malaikat (dewa-dewi) dan
para leluhur. Dalam ajaran agama khonghucu tidak ada larangan terhadap
pemeluknya untuk menyembah Lau-Tzu (Nabi Taoisme) atau budha Gautama karena
masih dalam koridor menghormati orang yang di anggap suci. Oleh karena itu
dalam setiap altar klenteng banyak dijumpai berbagai symbol patung yang
menggambarkan objek pemujaan.[29]
Sekadar
dari tampakan lahiriyahnya, sering dikatakan bahwa kepercayaan atau agama
sebagian besar etnik Tionghoa di Indonesia bersifat sinkretis. Menurut alam
pikiran mereka, hal itu kurang dapat dibenarkan. Secara individual mereka
mempunyai agama yang diyakini satu tetapiu dalam dalam peribadatan menganut
faham pragmatis, sesuai dengan motivasi hidup mereka yaitu kemakmuran duniawi,
usia panjang dan jauh dari mala petaka. Ritual keagamaan itu amat terkait
dengan hajat(kebutuhan) hidup. Karena itu, penyembahan terhadap orang-orang
yang dianggap suci amat sering disertai dengan permintaan. Mereka memilih
dewa-dewi atau orang-orang suci yang dianggap paling mungkin memperhatikan
kepentingan mereka, sehingga diharapkan juga akan memenuhi permintaan mereka
itu. Menurut persepsi mereka, masing-masing orang suci mempunyai keutamaan.
Doktrin
tentang kebaktian itu merupakan titik berat ajaran kong fu tze yang
terkandung pada hampir seluruh himpunan klassik itu, baik yang langsung ditulis
oleh kong fu tze maupun yang di tulis oleh para muridnya berdasarkan percakapan
mereka kepada kong fu tze ataupun komentar-komentar yang ditulis oleh para
penulis pada masa belakangan.
Terutama
kebaktian itu ditekankan pada masalah ketaatan sang anak (filliat
piety). Hal itu mengingat masyarakat besar dalam suatu Negara berpangkal pada
hakikatnya atas kelompok- kelompok keluarga. Kumpulan keluarga yang baik akan
melahirkan masyarakat yang baik.
Inti
doktrin ajaran kung fu tze berasaskan dua aspek:
1.
Hsiao, yaitu masalah hubungan dalam kehidupan manusaiwi. Kung fu
tze merumuskannya dalam lima jenis hubungan, yaitu: hubungan anak dan
bapak, hubungan istri dan suami, hubungan saudara bungsu dan saudara sulung,
hubungan karyawan dengan majikan, hubungan rakyat dengan raja.
Pihak
pertama pada lima jenis hubungan itu berkewajiban khidmat dan takzim,
yakni Hsiao, terhadap pihak kedua. “kewajiban anak (fillial duty)
dan kewajiban bapak (fraternal duty) adalah azas kemanusian yang baik.
2.
Shu, yaitu masalah timbal balik dari pihak atasan terhadap
bawahan dalam lima jenis hubungan sosial itu. Pihak atasan atasan dalam mengimbali Hsiao itu
memikul kewajiban untuk bersifat asih dan adil. Shu itu
berpangkal pada azas pikiran kung fu tze, berbunyi: “apa yang kamu tidak ingin
dilakukan orang terhadapmu, jangan lakukan terhadap orang lain”.[30]
BAB
III
PRAKTEK
KEAGAMAAN DALAM AGAMA KONGHUCU
A. Ritual
Keagamaan Dalam Agama Konghucu
Perihal
peribadatan dan tata laksana upacara sangatlah penting sebagai sarana pembinaan
kehidupan umat. Ibadah dan tata laksana upacara meliputi persujudan/kebaktian
kepada Tuhan, Nabi, para Suci, kehormatan bagi arwah leluhur dan kebaktian
kemasyarakatan.
Kebaktian
bersama di tempat ibadah, bukan saja merupakan pelaksanaan kewajiban
persujudan, tetapi juga menjadi sarana pembinaan kehidupan mental, moral dan
spiritual umat mamasuki Pintu Gerbang Kebajikan.[31]
adapun
prosesi peribadatan umat konghucu adalah sebagai berikut:
a. Terlebih
dahulu menyalakan lilin di tempat berdo’a atau altar,
b. Membakar
Hio atau Dupa sebanyak 3 atau 9 batang yang melambangkan Tuhan, Manusia dan
Bumi, kemudian dinaikkan dahi sebanyak 3 kali, dengan berkata sebagai berikut,
pada angkatan Hio yang pertama maka yang diuacapkan adalah kehadiran Tuhan yang
maha esa ditempat yang maha tinggi,dimuliakanlah. Pada angkata Hio yang kedua
yang harus diucapkan adalah kehadapan nabi Konghucu, pembimbing dan penyadar
hidup kami, di muliakanlah. Sedanngkan pada angkata ketiga yang diucapkan
adalah kehadapan para suci dan leluhur yang kami hormati, dimuliakanlah.
c. Setelah
pengangkatan Hio maka langkah selanjutnya adalah meletakkan Hio di Youlu atau
tempat peletakan Hio yang terbuat dari besi kuningan dan berbentuk hati, Hio
pertama diletakkan di tengah, yang kedua diletakkan di sebelah kanan, dan yang
terakhir diletakkan disebelah kiri.
d. Berdo’a
dengan sikap Pat Tik, ada dua sikap pat tik, Pertama sikap pat tik delapan
kebajikan mendekap Thai Kik yaitu dengan cara tangan kanan dikepalkan lalu
ditutup dengan tangan kiri, sikap tangan ini gunakan juga pada waktu
bersembahyang, kedua sikap delapan kebajikan mendekap hati dengan cara tangan
kanan tetap membuka, tangan kiri merangkap punggung tangan kanan dan kedua ibu
jari dipertemukan kemudian didekapkan di dada, sikap ini hanya digunakan pada
waktu berdo’a.
Tangan
bersikap pat tik dan didekapkan di dada mempunyai makna “Aku selalu ingat bahwa
dengan perantara ayah bunda Tian telah berkenan menjadikan daku manusia, maka
manusia wajib melakukan delapan kebajikan”.
B. Upacara
Keagamaan Agama Konghucu
Adapun
upacara keagamaan dalam agama Konghucu yakni upacara sidi dan upacara wajib
yang dilaksanakan umat antara lain sidi kelahiran anak, sidi akil balik, sidi
pernikahan, sidi pengakuan iman, upacara kematian, dan kebaktian bagi arwah
leluhur.
Setiap
hari, pagi, siang, sore sesaat sebelum makan, seorang Konghucu diwajibkan
bersembahyang ucapan syukur. Di samping itu tiap pagi dan sore melakukan
sembahyang dengan penaikan/menggunakan hio (dupa) di hadapan altar
khusus. Bila tidak ada altar khusus, dapat dilaksanakan dengan menghadap keluar
pintu/cendela. Dianjurkan umat berpuasa, berpantang daging setiap tanggal 1 dan
15 dari penanggalan imlek (Lunar). Puasa wajib dilakukan mulai hari ketiga
setelah tahun baru imlek dalam rangka menyongsong sembahyang besar kepada Tuhan
Yang Maha Esa pada malam tanggal 8 (menjelang 9) bulan satu penanggalan Imlek
(lunar). Diwajibkan bagi umat Konghucu untuk melakukan sembahyang
sandranan/ziarah kepada orang yang tua/kakek/nenek yang sudah meninggal sebagai
perwujudan ajaran Bhakti pada setiap tanggal 5 April.
C. Tempat-tempat
suci Agama Konghucu
Dalam
agama Konghucu ada beberapa tempat yang disucikan untuk beribadah diantaranya
adalah sebagai berikut:
1.
Kong
Miao, 孔廟(Confucius Temple); Ada satu ciri
khas yang membedakan antara Miao atau Kuil Khonghucu dengan bangunan tempat
ibadah yang serupa. Pada umumnya di dalam Kong Miao tidak terdapat patung
dewa-dewi, melainkan hanya berupa tulisan pada papan peringatan (Sienci 神柱)
yang biasanya hanya berisi tulisan tentang nama Nabi Kongfuzi 孔夫子
/Khonghucu (nama yang lebih umum 孔子 Kongzi)dan juga nama-nama para
muridnya yang terkenal. Bangunan Kong Miao yang tertua di Indonesia terdapat di
kota Surabaya yang dikenal dengan "Boen Bio" dan Khongcu Bio di kota
Cirebon.[32]
2.
Litang,
禮堂 (Ruang Ibadah); Litang adalah nama
tempat ibadah agama Khonghucu yang banyak terdapat di Indonesia. Saat ini sudah
ada lebih dari 150 Litang yang tersebar di seluruh Indonesia yang berada di
bawah naungan MAKIN (印尼孔教總會, Majelis Agama Khonghucu
Indonesia)dan organisasi pusatnya adalah MATAKIN (Majelis Tinggi Agama Khonghucu
Indonesia).Ciri tempat ibadah tersebut selain altarnya yang berisi Kim Sin (金神)
Nabi Kongzi/Khonghucu, juga biasanya terdapat lambang "Mu Duo" 木鐸
atau Bok Tok (dalam dialek Hokian) yaitu berupa gambar Genta dengan tulisan
huruf 'Zhong Shu' atau Tiong Sie (bahasa Hokian) artinya "Satya dan
Tepasarira/Tenggang Rasa" yang merupakan inti ajaran agama Khonghucu. Hal
ini sesuai dengan Sabda Nabi Kongzi dalam Kitab Lun Yu 論語:
"Apa yang diri sendiri tiada inginkan, janganlah diberikan terhadap orang
lain".[33]
Umat Khonghucu biasanya melakukan ibadah di Litang
setiap tanggal 1 dan 15 penanggalan Imlek. Namun ada pula yang melaksanakannya
pada hari Minggu dan hari lain, hal ini disesuaikan dengan kondisi dan keadaan
setempat. Upacara-upacara hari keagamaan lain seperti peringatan Hari Lahir
Nabi Khonghucu (至聖誕, 28 bulan 8 Iemlik), Hari Wafat
Khonghucu (至聖忌辰 18 bulan 2 Iemlik), Hari Tangcik (冬至
Genta Rohani), dan Tahun Baru Iemlik(春節) dsb. biasanya juga dilakukan di
Litang.
3.
Kelenteng,
廟
Miao;
kelenteng pada umumnya digunakan sebagai sarana tempat bersembahyang/ibadah
oleh kebanyakan orang Tionghoa terutama umat tradisional sehingga kadang-kadang
kita sulit membedakan apakah mereka itu penganut agama Buddha Mahayana,
Khonghucu atau Tao. Namun kalau kita telaah lebih jauh, ada ciri yang
membedakan dari ketiga bangunan tempat ibadah masing-masing penganut agama
tersebut yaitu dari nama kelenteng tersebut dan juga para Dewa-dewi yang berada
dalam bangunan Kelenteng tersebut. Namun secara umum bangunan Kelenteng
biasanya bergaya arsitektur khas Tiongkok, misalnya terdapat ukiran Naga atau
Liong pada bagian atas atap atau tiang/pilarnya,ada lukisan Qilin (麒麟,
Hokkian:Kilien)- binatang yang dianggap suci, bentuknya seperti seekor rusa,
kulitnya bersisik berwarna hijau keemasan, bertanduk tunggal. Hewan suci ini
pernah muncul pada saat menjelang kelahiran Khonghucu/Kongzi dan terbunuh oleh
Pangeran Lu Ai Gong 魯哀公dalam perburuannya yang menandai
peristiwa sebelum kewafatan Khonghucu.[34]
D. Bandingan
Dengan Islam
Melihat ajaran-ajaran pokok agama
Konghucu seperti yang dipaparkan sebelumnya, maka terdapat persamaan dan
perbedaan antara ajaran agama tersebut dengan Islam.
Persamaannya adalah sebagai berikut:[35]
Bahwa manusia harus mempunyai sifat
samawi (berbudi luhur), artinya harus mempunyai hati yang longgar, berjiwa
toleransi terhadap sesama manusia, suka menolong tidak mebedakan satu sama
lain, walaupun sederajat tinggi atau rendah, baik yang berkulit putih maupun
berkulit hitam. Demikian pula dalam Islam, dalam al-Qur’an banyak disebutkan
ayat-ayat tentang hal ini, di antaranya:
“Dan
sesungguhnya engkau (Muhammad) sungguh dalam akhlak yang sempurna.” (Q.S.
an-Nur: 4)
“Sesungguhnya
orang-orang mukmin itu bersaudara.” (Q.S. al-Hujurat: 10)
Adapun perbedaannya antara lain:[36]
1. Agama
Konghucu tidak pernah mempersoalkan tentang Tuhan, tentang kiamat dan akhirat,
tentang hidup sesudah mati daln lain-lain. Sedangkan agama Islam
membicarakannya, bahkan soal-soal itulah yang harus diutamakan dan diyakini
oleh tiap-tipa pemeluknya.
Rukun Iman yang enam
yaitu: percaya kepada Allah, percaya kepada Malaikat-Malaikat-Nya, percaya
kepada Kitab-Kitab-Nya, percaya kepada Rasul-Rasul-Nya, percaya kepada hari
kiamat, percaya kepada Qodho dan Qadar.
Kesemuanya harus
diyakini betul-betul di dalam hati, sebelum melaksanakan syariat-syariat
bersifat lahiriah misalnya shalat, puasa, dan lain-lain.
2. Agama
Konghucu lebih mengutamakan soal-soal keduaniaan saja, terutama etika dan sopan
santun. Sedang agama Islam mengutamakan soal-soal dunia dan akhirat
kedua-duanya sama-sma penting (ibadah dan muamalat). Pada pokonya, Islam
meliputi Iman, Islam, dan Ihsan yang ketiga-tiganya tidak dapat dipisahkan.
3. Agama
Konghucu sangat mengutamakan akhlak dan aturan-aturan upacara serta
upacara-upacaranya sekali, seperti upacara bersaji kepada dewa langit, dewa
panen, dan lain-lain. Pada agama Islam solah akhlak dan aturan-aturan upacara
(kultus) keagamaan juga ada, misalnya orang shalat harus berwudhu, harus
menghadap kiblat dan seterusnya. Akan tetapi semua ini adalah merupakan
realisasi dan manifestasi pada keimanan, jadi imanlah yang paling pokok.
4. Agama
Konghucu mengajarkan bahwa menhormati adalah benih-benih dari segala kebaktian.
Dan kebaktian yang diutamakan ada lima perkara, yaitu: (1) para bangsawan, (2)
bapak, (3) saudara laki-laki, (4) suami, (5) kawan-kawan. Dalam agama Islam
terdapat juga jaran untuk berbakti seperti tersebut, tetapi kebaikan yang paling
utama adalah kepada Allah saja, sebab hanya Allah saja yang maha menjadikan dan
kepada-Nyalah kita kemba;i. Menghormati kepada siapapun memang perlu dan utama
tetapi semua ini adalah dalam rangka penyempurnaan keimanan dan kebatian
terhadap Allah semata.
5. Soal
arwah, bagi agama Konghucu (konfusius), menghormati arwah dianggap suatu hal
yang penting, sebab menurut mereka arwah itu memerlukan pemujian. Kultus
(upacara) kepada orang mati selalu merupakan bagian penting dari upacara
pemujian dalam rumah maupun kultus remi negara. Jadi roh-roh (arwah) masih
dianggap dapat memberikan berkah, do’a, dan pertolongan kepada para
keluarganya. Maka dari itu roh-roh terutama rohnya para leluhur harus dipuja
dengan baik-baik. Di samping itu nereka harus memuja dewa alam seperti dewa
gunung, dewa angin, dewa sungai dan sebagainya. Serta harus berbakti juga
kepada lima macam golongan sebagai yang telah disebutkan sebelumnya, karena
menghormati arwah dianggap sama dengan menghormati orang yang masih hidup.
BAB
IV
PENUTUP
Kesimpulan
Adapun
kesimpulan yang dapat kita ambil dari makalah tentang agama konghucu adalah
sebagai berikut:
1.
Sejarah perjalanan dan
perkembangan agama Khong hu cu (Kong jiao) sangatlah panjang. Agama Khong hu cu
adalah agama yang ada dengan mengambil nama Sang Nabi Khongcu
(Kongzi/Kong Fuzi) yang lahir pada tanggal 27 bulan 8 tahun 551 SM di negeri Lu
(kini jasirah Shandong).
2.
Agama Konghucu
dipadankan dengan sejumlah sebutan: Kong Jiau/Kung Chiao,Rujiao/Chiao, dan Ji
Kau. Semua sebutan tersebut merujuk pada sejarah bahwa Konghucu merupakan suatu
“Agama” klasik Cina yang dibangkitkan kembali oleh Kongcu, yang dalam bahasa
asalnya berarti agama kaum taat, yang
lembut hati, yang memperoleh bimbingan, atau kaum terpelajar.
3.
Tuhan dalam ajaran
Konghucu sering disebut Thian atau Tee, yang artinya Tuhan Yang Maha Besar
atau Tuhan Yang Maha Menguasai Langit dan Bumi.
4.
Kitab suci agama
konghucu sampai pada bentuknya yang sekarang mempunyai masa perkembangan yang
sangat panjang. Kitab suci yang tertua berasal dari raja suci Giau (2357-2255
SM) dan yang termuda ditulis oleh Bingcu (wafat tahun 289 SM), meliputi masa
sekitar 2000 tahun.
5.
Ajaran agama khonghucu amat mendorong umatnya untuk
melaksanakan peribadatan. Peribadatan sangat penting, bahkan lebih penting
daripada kesusilaan. Peribadatan sangat penting, bahkan lebih penting dari
kesusilaan. Peribadatan yang dilakukan secara khidmat akan memancarkan
kesusilaan. Setiap peradaban yang dilakukan dengan tulus, penuh kepercayaan,
penuh satya dan penuh hormat akan memperoleh keberkahan atau kesempurnaan.
Peribadatan dilaksanakan menurut kesusilaan, dikhidmatkan dengan music dan
lagu, serta disesuaikan dengan musim.
Daftar
Rujukan
Ahmadi, Budi, 1991. Perbandingan
Agama, Jakarta: PT Rineka Cipta.
Hengki Suryadi, http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/message/1289, Diakses 21 Nopember
pukul 15.39
Hilman
Hadikusuma, 1993. Antropologi Agama I,
Bandung: PT Citra Adtya Bakti.
Http//matakin/Khong
hu cuu - Sejarah-Agama khong hu cuu. Html, diakses tanggal 17-11-2011. Jam
10.02.
Http://Id.Wikipedia.Org/Wiki/Agama_Khonghucu. 08.32, tanggal 18 November
2011.
Http://Id.Wikipedia.Org/Wiki/Majelis_Tinggi_Agama_Konghucu_Indonesia
Diakses 08.26. 18 November 2011 Pukul.15.15 WIB
Http://Id.Wikipedia.Org/Wiki/Tempat_Ibadah_Agama_Khonghucu,
diakses pada tgl 21 November 2011,jam 14.35
Http://Www.Matakin-Indonesia.Org/Selintas_Mengenal_Agama_Khonghuc.Htm,
di akses Sabtu, 24 September 2011) Pukul. 19.23 WIB
Http://Www.Meandconfucius.Com/2010/12/Tempat-Ibadah-Agama-Khonghucu.Html,
diakses pada Tgl 21 November 2011, jam 14.38
http://www.meandconfucius.com/2010/12/tempat-ibadah-agama-khonghucu.html,
pada tgl 21 November 2011, pada jam 14.35
Nahar
Nahrawi, Muh, 2003. Memahami Khonghucu Sebagai Agama”, Jakarta: Grafika
Pustaka Utama.
Qosim
Mathar, Moh., 2003. Sejarah,Teologi, Dan Etika Agama-agama, Sleman:
Pustaka Pelajar.
Setiawan,
Chandra, Baucu, 2000. Membumikan Nilai-Nilai Konghuchu Dalam Hidup
Bermasyarakat, Matakin.
Sou’yb,
Joesoef, 1996. Agama-Agama Besar Di
Dunia, Jakarta: Al-Husna Dikra.
[1] http//matakin/Khong hu
cuu - Sejarah-Agama khong hu cuu. Html, diakses tanggal 17-11-2011. Jam 10.02.
[2]http://id.wikipedia.org/wiki/Majelis_Tinggi_Agama_Konghucu_Indonesia
Diakses 08.26. 18 November 2011 Pukul.15.15 WIB
[3] Ibid., hal 4.
[5]Chandra Setiawan, Baucu, Membumikan
Nilai-Nilai Konghuchu Dalam Hidup Bermasyarakat, Matakin, 2000. Hlm. 15
[6] Muh. Nahar Nahrawi, Memahami
Khonghucu Sebagai Agama” (Jakarta: Grafika Pustaka Utama. 2003) hal 7
[7] Ibid., 7
[8] Nahar Nahrawi, Memahami Khonghucu Sebagai Agama,
(Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm. 37
[9] Ibid,. hlm. 37-38.
[10] Ibid,. hlm. 38.
[11] Ibid,. hlm.
38-39.
[12] Ibid,. hlm. 41.
[13] Abu Ahmadi, Perbandingan Agama, (Jakarta: PT Rineka
Cipta, 1991, cet. XVII), hlm. 78.
[14] Hilman Hadikusuma, Antropologi Agama I, (Bandung: PT Citra
Adtya Bakti, 1993, cet. I), hlm. 246.
[15] Ibid,. hlm. 252.
[16] Ibid, hlm. 252.
[17] (http://www.matakin-indonesia.org/selintas_mengenal_agama_khonghuc.htm,
di akses Sabtu, 24 September 2011) Pukul. 19.23 WIB
[18] Ibid,.
[19] Moh. Qosim Mathar, Sejarah,Teologi, Dan
Etika Agama-agama, (Sleman: Pustaka Pelajar 2003), hlm. 53
[20] Muhamad Nahar Nahrawi, Memahami Konghucu Sebagai Agama,
(Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm. 33-34
[21] Ibid,. hlm. 34-35
[22] Ibid,. hlm. 35
[23] Ibid,. hlm. 35-36
[24] Ibid,. hlm. 35
[25] Hengki Suryadi, http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/message/1289, Diakses 21 Nopember
pukul 15.39
[26] Ibid
[27] Ibid
[28] Ibid,. hlm 47
[29] Ibid,. hlm 50
[30] Joesoef Sou’yb, Agama-Agama
Besar Di Dunia, (Jakarta: Al-Husna Dikra, 1996), hlm. 176-177
[31] Moch. Qasim Mathar. Sejarah,
Teologi, dan Etika Agama-agama. (Yogyakarta: Interfidei, 2003) hal. 58
[32] http://www.meandconfucius.com/2010/12/tempat-ibadah-agama-khonghucu.html,
diakses pada Tgl 21 November 2011, jam 14.38
[33] http://id.wikipedia.org/wiki/Tempat_ibadah_agama_Khonghucu,
diakses pada tgl 21 November 2011,jam 14.35
[34] http://www.meandconfucius.com/2010/12/tempat-ibadah-agama-khonghucu.html,
pada tgl 21 November 2011, pada jam 14.35
[35] Abu Ahmadi, Perbandingan Agama, (Jakarta: PT Rineka
Cipta, 1991, cet. XVII), hlm. 85
[36] Ibid,. hlm. 85-86
Tidak ada komentar:
Posting Komentar